Tugas, Fungsi, dan Kewenangan KPK

Daftar Isi [Tampil]


 

Ketika KPK meluncurkan film antikorupsi KvK, bisa jadi banyak publik bertanya-tanya. “Lho, apakah KPK sudah berubah fungsi? Sejak kapan KPK berkecimpung di dunia seni?” Pertanyaan semacam itu memang wajar. Sebab, selama ini yang sering terpublikasikan oleh media massa adalah peran represif KPK dalam bidang penindakan. Misalnya saja, ketika KPK menangkap seorang gubernur atau bupati, saat KPK menjebloskan seorang menteri atau besan Presiden ke dalam jeruji besi, dan sebagainya. Seperti itulah yang terekspos.

Fenomena semacam itu, tak lepas dari media massa, yang memandang bahwa peran represif KPK terlihat seksi dan punya “nilai jual” tinggi. Faktanya, berbagai kiprah KPK terkait penindakan, apalagi jika yang ditangkap adalah pejabat tinggi, hampir selalu menarik minat masyarakat. 

Tetapi karena itu pula, maka peran lain KPK di bidang pencegahan menjadi kurang tersampaikan ke masyarakat. Padahal, menurut UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, tugas, fungsi, dan kewenangan KPK memang tidak terbatas pada penindakan saja, namun juga pencegahan. Contohnya terkait film KvK itu tadi. Termasuk di antaranya, saat KPK menyelenggarakan lomba puisi antikorupsi, arisan antikorupsi, zona antikorupsi, menerbitkan buku cerita bergambar antikorupsi, dan sebagainya. Secara lengkap, tugas KPK diatur dalam Pasal 6. Di dalamnya menyebutkan, bahwa tugas KPK adalah:

  •   Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  •   Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  •   Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
  •   Melakukan tindakan–tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;
  •   Melakukan monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.

Dengan demikian jelas, bahwa KPK memang tidak hanya bertugas menangkap dan membawa koruptor ke meja hijau. Kampanye, sosialisasi, edukasi, bahkan melakukan kajian dan kerjasama pun, baik untuk tingkat nasional maupun internasional, merupakan tugas KPK juga.

Koordinasi

Dalam menjalankan tugas koordinasi, KPK berkoordinasi dengan instansi yang terkait dengan tugas pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi. Antara lain: Kejaksaan, Kepolisian, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Inspektorat Jenderal (Itjen), dan Badan Pengawas Daerah (Bawasda).Dalam melaksanakan tugas koordinasi itu, KPK berwenang:

• Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi

• Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;

• Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi terkait;

• Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan

• Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi

Supervisi

Sementara dalam melakukan supervisi, KPK melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi serta instansi yang melaksanakan pelayanan publik. Berkaitan dengan pelaksanaan tugas supervisi tersebut, KPK dapat mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan.

Pengambil-alihan tersebut diperbolehkan, dengan alasan sebagai berikut:

• Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;

• Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

• Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

• Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

• Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau

• Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pelaksanaan kegiatan supervisi selama ini dilakukan dengan dua cara, yaitu supervisi secara umum dan secara khusus. Supervisi secara umum dilakukan terhadap penanganan kasus/perkara tindak pidana korupsi oleh Kepolisian dan Kejaksaan.

Supervisi umum tersebut dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan koordinasi dengan jajaran Kepolisian dan Kejaksaan yang dilakukan per wilayah provinsi. Pada saat itulah supervisi secara umum bisa diberikan terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul, baik teknis maupun non teknis yang dihadapi oleh jajaran Kepolisian dan Kejaksaan dalam penanganan perkara di wilayahnya. Supervisi secara khusus bisa dilakukan, baik atas permintaan dari Kejaksaan/ Kepolisian maupun atas inisiatif KPK, terkait penanganan perkara-perkara yang sedang ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan.

Supervisi khusus ini dilakukan, jika Pimpinan KPK memiliki pertimbangan bahwa perkara tersebut perlu mendapat supervisi secara khusus. Salah satu contoh supervisi khusus, ketika Mabes Polri sedang melakukan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi berupa L/C fiktif BNI.


Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan Di samping melakukan tugas Koordinasi dan Supervisi (Korsup) terhadap penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi dengan Kepolisian dan Kejaksaan, KPK juga melaksanakan kegiatan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sendiri.

Tetapi, tidak semua tindak pidana korupsi bisa ditangani KPK. Berdasarkan Pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 2002, kriteria korupsi yang bisa ditangani KPK adalah:

• Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara;

• Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

• Menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp1 miliar.

Jika terdapat tindak pidana korupsi yang berada di luar kriteria tersebut, tentu saja KPK tidak berwenang menangani. Pembatasan ini penting, agar tidak semua tindak pidana korupsi ditangani KPK. Tujuannya, supaya KPK concern dalam menjalankan tugas dan fungsi penyelidikan, penyidikan, penuntutan. Selain itu, yang tak kalah penting adalah, bahwa penyidik KPK tidak dibolehkan menghentikan penyidikan (SP3). Seperti diatur dalam Pasal 40 UU No. 30 Tahun 2002, “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi”.

Dengan demikian, jika kasus dugaan tindak pidana korupsi sudah menjadi perkara untuk dilakukan penyidikan, maka perkara tersebut harus berujung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karenanya, dalam tahap penyelidikan, penyelidik KPK harus berupaya untuk mengungkapkan adanya peristiwa pidana korupsi dengan membuktikan semua unsur perbuatan pidananya serta menentukan tersangkanya.



Post a Comment

Previous Post Next Post
close