Sinopsis Novel Sayap-Sayap Patah | Download KARYA-KARYA KHALIL GIBRAN (1833-1931)

Daftar Isi [Tampil]

Usiaku Baru delapan belas tahun ketika cinta membuka mataku dengan sinar-sinar ajaibnya dan menyentuh jiwaku untuk pertama kalinya dengan jari-jemarinya yang membara, dan Selma Karamy adalah wanita pertama yang membang kitkan jiwaku dengan kecantikannya serta mem bimbingku ke dalam taman cinta kasih yang luhur, tempat hari-hari berlalu laksana mimpi dan malam-malam bagaikan perkawinan.

Selma Karamy-lah yang mengajariku memuja keindahan lewat kecantikannya sendiri dan menyampaikan padaku rahasia cinta dengan segenap perasaan hatinya. Dialah yang pertama kali menyanyikan puisi kehidupan hakiki untukku.

Setiap orang muda pasti teringat cinta pertamanya dan mencoba menangkap kembali hari-hari yang asing itu, yang kenangannya mengubah perasaan di relung hatinya dan membuatnya begitu bahagia di balik segala kepahitan misterinya.

Dalam hidup setiap orang muda pasti ada seorang "Selma" yang tiba tiba muncul baginya di hari-hari musim semi kehidupannya, dan mengubah kesendiriannya menjadi saat-saat bahagia serta memenuhi keheningan malam-malamnya dengan irama musik.

Aku terbenam jauh ke dalam pikiran dan renungan dan berusaha memahami makna semesta alam serta firman kitab-kitab ketika aku mendengar cinta berbisik ke telingaku lewat bibir-bibir Selma.

Hidupku adalah sebuah koma, hampa bagai kehidupan Adam dalam surga, ketika aku melihat Selma berdiri di depanku seperti seberkas cahaya. Dia adalah Hawa dari jantung hatiku yang memenuhinya dengan segala rahasia dan berbagai keajaiban serta membuat aku memahami makna kehidupan.

Hawa yang pertama membimbing Adam keluar dari surga atas kemauannya sendiri, se mentara Selma menuntun aku masuk dengan rela ke dalam surga cinta murni dan kebenaran dengan kemanisan dan cinta kasihnya: namun apa yang terjadi terhadap Adam pun terjadi pula padaku, dan pedang membara yang mengusir Adam dari surga mirip pedang yang menakut nakuti aku dengan ujungnya yang mengilau, dan memaksaku menjauhi surga cintaku yang tak pernah mengabaikan suatu perintah atau mencicipi buah dari pohon terlarang.

Kini beberapa tahun sudah berlalu, dan tidak satu pun mimpi indah itu tersisa padaku kecuali kenangan-kenangan menyakitkan yang terayun-ayun bagai sayap-sayap yang tampak di seputarku, menyedihkan hatiku serta mengalir kan air mataku; dan kekasihku Selma yang jelita kini telah tiada, dan tiada yang tersisa buat mengenangnya kecuali hatiku yang patah dan sebuah makam yang dikelilingi oleh pohon cemara.

Makam dan hatiku, itulah yang tinggal menjadi saksi tentang Selma. Keheningan yang mengawal pusara itu tidak menyampaikan rahasia Tuhan dalam keremang an peti mati, dan gemerisik dahan-dahan yang akar-akarnya menyerap elemen-elemen jasad itu tidak mengisahkan segala misteri liang lahat, namun segala keluh yang merintih dari hatiku menyampaikan drama yang telah melakonkan cinta, keindahan, dan kematian pada orang-orang yang hidup.

Wahai, Sahabat-sahabat masa mudaku yang terserak di Kota Beirut, jika engkau melewati pemakaman dekat hutan pinus itu, masuklah diam-diam dan berjalanlah pelan-pelan sehing ga langkah-langkah kakimu yang perkasa tidak mengganggu tidur orang yang mati, dan berhentilah sejenak dekat pusara Selma, sampaikan salam pada bumi yang memeluk tubuhnya, dan sebutlah namaku dengan keluh yang dalam, dan katakan pada dirimu sendiri, "Di sini, dimakamkan segala harapan Gibran yang hidup sebagai seorang yang terpenjara oleh cinta di seberang lautan. Di atas setumpuk tanah ini ia kehilangan kebahagiaannya, mengalirkan air matanya, dan melupakan senyumnya."

Baca Juga

Di dekat makam itu tumbuh dukacita Gibran bersama-sama dengan pohon cemara, dan atas makam itu arwahnya melayang-layang setiap malam mengenang Selma, menyertai dahan-dahan pepohonan dalam ratapan duka cita, yang menangis meratapi kepergian Selma, yang kemarin masih berupa nada yang indah pada bibir-bibir kehidupan, namun sekarang tinggal menjadi sebuah rahasia sunyi dalam dada sang bumi.

"Wahai, Sahabat-sahabat rnasa mudaku, kepada kalian aku mengimbau, atas nama perawan-perawan suci yang menambatkan cinta kasih dari hatimu untuk meletakkan sesunting bunga di atas pusara cintaku karena bunga-bunga yang kalian letakkan di atas pusara Selma adalah laksana titik-titik embun jatuh dari mata sang Fajar di atas daun-daun bunga mawar yang kering."

Duka yang Bisu

PARA TETANGGAKU, kalian tentu ingat masa remaja dengan segala kesenangannya, dan tentu menyesalkan berlalunya semua itu, namun aku mengenangnya sebagai seorang narapidana yang mengingat-ingat kembali terali besi serta belenggu-belenggu rumah tahanannya.

Kalian berbicara tentang tahun-tahun antara masa kanak-kanak dan masa remaja sebagai masakeemasan yang bebas dari rasa duka dan segala aturan, namun aku menyebut masa itu sebagai masa duka yang bisu yang jatuh laksana benih ke dalam hatiku dan tumbuh bersamanya, dan tak dapat mencari jalan keluar ke dalam dunia ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan sampai cinta datang membukakan pintu-pintu hati dan menerangi sudut-sudutnya.

Cinta datang padaku dengan lidah dan air mata. Kalian, wahai, Manusia, mengenangkan taman-taman dan bunga-bunga anggreknya serta tempat tempat pertemuan dan sudut-sudut jalanan yang menjadi saksi segala permainanmu dan mendengar segala bisikanmu yang tanpa dosa; aku pun mengenangkan setumpak tanah Lebanon Utara yang indah.

Setiap kali kupejamkan mataku, aku menyaksikan lembah ngarai yang penuh keajaiban dan keluhuran itu, juga kusaksikan gunung-gunung yang berselimutkan kemenangan dan keagungan sedang mencoba menggapai langit.

Setiap kali kututup telingaku dari kebisingan kota, aku mendengar gemericik anak-anak bengawan dan derak derak dedahanan.

Seluruh keindahan yang ku bicarakan sekarang ini, yang aku rindu untuk melihatnya seperti seorang anak merindukan susu ibunya, membuat jiwaku luka, terpenjara ke dalam kegelapan masa remaja, laksana seekor burung rajawali merana dalam sangkarnya ketika dilihatnya sekawanan burung terbang dengan bebasnya di langit yang lapang.

Lembah ngarai dan perbukitan itu membakar khayalku, namun pikiran-pikiran pahit menjalin jaring jaring keputusasaan di seputar hatiku.

Setiap kali aku pergi ke padang-padang, aku pulang dengan perasaan kecewa tanpa mengerti apa sebabnya. Setiap kali kupandangi langit kelabu, hatiku terasa ngilu.

Setiap kali kudengar kidung burung-burung dan gurauan musim semi, aku merasakan penderitaan, namun aku tak tahu mengapa aku menderita.

Kata orang, ketidakmengertian membuat orang hampa, dan kehampaan membuat orang tak peduli. Boleh jadi memang demikian bagi mereka yang dilahirkan sebagai orang mati dan yang hidup seperti bangkai bangkai beku, namun anak peka yang banyak merasa dan sedikit mengerti adalah makhluk paling celaka di bawah matahari ini, karena dirinya tercabik-cabik oleh dua kekuatan.

Kekuatan pertama mengangkatnya dan menunjukkan padanya keindahan wujud lewat awan mimpi-mimpi, yang kedua mengikatnya di bumi dan menaburkan debu ke dalam matanya serta mengungkungnya dengan ketakutan-ketakutan dan kegelapan-kegelapan.

Download Here/button

Post a Comment

Previous Post Next Post
close