Sinopsis Novel PERGI | Download Karya Tere Liye

Daftar Isi [Tampil]



Bab 1. Hantu Masa Lalu-sekuel Novel PULANG

"Kemarin aku pergi ke rimba gelap Bertemu hantu di sana

Badannya tinggi besar Tangannya seperti batang pohon Matanya merah menyala Menyembur api dari mulutnya Mama,aku tidak takut

Kucabut machete-ku Aku lompat ke lehernya

Kemarin aku pergi ke rimba gelap Tidak ada lagi hantu di sana Mereka sudah pergi

Mama,aku menakuti mereka Setiap kali aku mencabut machete-ku Gunung-gunung berhenti meletus Lautan badai menjadi tenang

Mereka terdiam seperti anak kecil Pada putra-mu yang tak kenal takut"

Salonga menerjemahkan lagu itu untukku di tengah keheningan gelap-setelah beberapa menit lalu rentetan tembakan memekakkan kuping terdengar di salah-satu gudang kontainer, stasi W1 kereta api perbatasan Meksiko - Amerika Serikat.

Aku menatap Salonga sejenak. Kami sedang berlindWlg di balik salah-satu kontainer yang berisi kol dan sayur-mayur.

"Itu SW1gguh artinya?"

"Yeah, demikian." Salonga memperbaiki topi cowboy-nya yang miring sesenti. Pistol dengan warna keemasan tergenggam erat di tangan kanan. Wajahnya santai, dan karena hanya mengenakan kaos oblong abu-abu dan celana pendek, Salonga lebih mirip seperti bapak­ bapak pemilik sekaligus penjaga toko sembako dibanding penembak pistol terbaik se Asia Pasifik.

"Lagu itu, apakah dia ingin bilang jika dia tidak takut?"Aku bergumam.

"Entahlah. Boleh jadi demikian," Salonga menjawab selintas lalu, "Atau dia terbiasa bernyanyi sambil bergitar lg hidup-mati."

"Itu ganjil sekali. Siapa yang akan bernyanyi lagu seaneh itu dalam situasi seperti ini?" White,yang berdiri di belakangku bergumam. White membawa AK-47, wajahnya selalu serius. Dia mengenakan celana loreng dan kaos marini nya, lengkap dengan sepatu bot tempur.

"Itu tidak aneh, Tuan Marinir. Bujang lebih aneh lagi saat menjelaskan dia tidak punya rasa takut." Kiko nyeletuk, "Apa Kakek Bushi bilang? Ah iya, Bujang pemah menaklukkan raja babi hutan di rimba belantara sendirian. Rasa takut diambil dari dadanya sejak kejadian itu. Nah, sejak kapan babi punya raja? Super pig, begitu? Kakek Bushi terlalu mudah percaya, Bujang hanya pintar mendongeng-"

Aku mengangkat tangan, menyuruh Kiko diam,juga saudara kembarnya Yuki yang bersiap tertawa menyambar gurauan. Si Kembar ini selalu santai.

Penampilan dan kelakuan mereka berdua lebih parah dibanding Salonga, menganggap ini hanya sedang plesir di salah satu pantai Negara Meksiko, sambil menghabiskan segelas jus dingin nan segar. Lihatlah, si kembar ini mengenakan pakaian dengan warna cerah -pink, merah, celana panjang dilapisi rok lebar, baju kemeja berlapis, dan bando Hello Kitty di kepala. Sepintas lalu, mereka hanya akan disangka gadis usia dua puluhan yang masih Jabil lupa umur, tidak akan tahu jika Yuki dan Kiko adalah ninja mematikan -dan tampilan itu adalah samaran terbaik mereka.

Petikan gitar klasik khas Amerika Selatan masih terdengar, seseorang di seberang sana, laki-laki usia tiga puluh tahunan, di batik kontainer terdengar bernyanyi lagi. Mengulangi lagunya.

"Kemarin aku pergi ke rimba gelap Bertemu hantu di sana Badannya tinggi besar Tangannya seperti batang pohon Matanya merah menyala Menyembur api dari mulutnya Mama, aku tidak takut Kucabut machete-ku Aku lompat ke /lehernya"

Lagu itu seperti lagu di film-film klasik Amerika Latin, petikan gitar khas dengan irama cepat, berdenting, meliuk, dan semangat. Suara serak yang menyanyikannya menambah kesan Amerika Selatan-nya.

"Siapa orang itu, Bujang?" White bertanya. Aku menggeleng, tidak tahu.

"Apakah dia orang suruhan El Pacho?"

"Tentu saja bukan, Tuan Marinir." Yuki yang menjawab kali ini, "Dia justru membantu kita menembaki puluhan sicario El Pacho tadi. Kamu terlalu lama menggoreng cumi, udang, hal sesepele itu saja tidak bisa menyimpulkan sendiri."

White melotot galak ke Yuki-tersinggung.

Si kembar itu tertawa lebar -sengaja memang mengganggu White. Dalam setiap misi yang kulakukan, jika mengajak White dan Si Kembar, mereka akan selalu bertengkar tanpa alasan.

"Apakah kita masih jauh dari kontainer target, White?" Aku memotong, fokus.

"Kontainer itu persis berada di depan orang itu, Bujang."White menunjukkan layar gadget-nya, kedip-kedip merah terlihat, pertanda lokasi,"Benda yang kita earl positif ada di dalam kontainer."

Aku mengangguk sambil menyeka peluh di dahi. lni jadi sedikit rumit dari perkiraan. Kami tertahan lima menit. "Kita serang saja dia, Bujang. Apa susahnya?" Yuki mengusulkan, mengeluarkan bintang ninja dari balik baju pink-nya, "Aku bisa melumpuhkannya dengan shuriken."

Kiko, saudara kembarnya, mengangguk, meloloskan kusarigama (sabit dengan rantai) dari pinggangnya.

Aku berpikir cepat, mencari keputusan terbaik. Baru dua jam lalu aku bersama Salonga, White dan Si Kembar mendarat di bandara Kota Tijuana, Meksiko, setelah transit tiga kali melintasi Samudra Pasifik.

Tiga puluh enam jam sebelumnya, Parwez membawa kabar buruk itu. Saat aku justru sedang memikirkan cara menghadapi Master Dragon yang membuat kebohongan yang baru aku ketahui (Novel PULANG), Parwez mendadak meneleponku, bilang salah satu riset teknologi yang didanai oleh Keluarga Tong telah dicuri oleh kelompok lain. Teknologi itu penting sekali, untuk mendeteksi serangan siber.

Keluarga Tong memiliki puluhan perusahaan keuangan di dunia, memiliki teknologi itu mendesak. Aku memutuskan membiayai riset tentang itu di salah-satu kampus ternama Meksiko, ada seorang profesor jenius di sana. Enam tahun Keluarga Tong membenamkan investasi, prototype benda itu siap diuji coba, tidak bisa seenaknya kelompok mafia lain mencurinya. Aku terpaksa menunda urusan kebohongan Master Dragon, segera melakukan kontak ke jaringan di Amerika Selatan.

Intelijen Keluarga Tong mendapat informasi bahwa teknologi itu dicuri oleh El Pacho, sindikat penyelundup narkoba terbesar di Amerika Selatan, benda itu akan segera dibawa ke Los Angeles, Amerika Serikat, pusat kerajaan narkoba mereka. El Pacho juga membutuhkan teknologi itu untuk melindungi rekening uang haram mereka. Aku memutuskan melakukan tindakan serius, ini penting dan mendesak, memanggil White, dan Si Kembar. Pesawat jet segera terbang, mampir sejenak di Manila, menjemput Salonga-dia bukan hanya ahli pistol terbaik se-Asia Pasifik, juga menguasai bahasa Spanyol,itu akan berguna.

Kami tiba di Bandara Tijuana, langsung menaiki mobil jip besar menuju gudang kontainer kereta api. Keluarga Tong memang tidak memiliki bisnis di Amerika Selatan, tapi aku mempunyai jaringan yang luas -meski mahal harganya. Informasi terpercaya mengabarkan, benda itu berada di gudang, diam-diam akan dibawa dengan gerbong kontainer kereta api, melintasi perbatasan Meksiko-Amerika Serikat. Itu strategi yang baik untuk menghindari perhatian imigrasi, benda itu tidak bisa dibawa sembarangan, apalagi lewat bandara resmi. Ada banyak kelompok berkuasa yang mengincar benda itu­ termasuk pemerintahan negara-negara tertentu.

Pukul satu malam, tiba di salah-satu gudang, kami langsung menyerbu masuk. Ada puluhan tukang pukul bayaran alias sicario El Pacho berjaga di pintu gudang. White menabrakkan mobil jip, menerjang pintu, mereka menyambut kami dengan tembakan senjata otomatis.

Kami lebih dari siap, Salonga segera beraksi, dia lompat turun, melumpuhkan empat sicario sekaligus dengan tembakan akurat menembus jantung. Aku juga mengeluarkan pistolku, ikut menembak ke sana-kemari, kami berlarian dari satu kontainer ke kontainer lain menuju target. White berseru galak, menumpahkan peluru AK-47 melindungi aku dan Salonga yang berdiri di depan, sementara itu Si Kembar -mereka berdua asyik berlarian hanya menonton, sambil membuka gadget, meng-update Instagram.

"Apa yang kalian lakukan?" White berseru marah. "Tidak ada. Kecuali Tuan Marinir kerepotan, kami baru membantu." Kiko mengangkat bahu.

"Habisi musuh, Kiko!"White menunjuk ke depan. "Hei, Tuan Marinir, kami tidak suka membawa senapan. ltu bukan gaya kami, lagi pula kami tidak cocok membawa senapan, kami terlalu cantik." Kiko tertawa lebar, menggeleng.

"Aku sudah bilang, Bujang!" White terlihat kesal, "Jangan pemah ajak si kembar ini. Mereka hanya merepotkan saja."

Kiko melambaikan tangannya.Tidak menanggapi. Tapi sejauh itu kami berhasil mengatasi tukang pukul tersebut. Jumlah mereka banyak, tapi itu tidak berguna, mereka hanya tukang pukul kelas rendah, menembak sepuluh kali, sepuluh-sepuluhnya meleset, dengan cepat mereka terdesak ke dinding-dinding gudang.

This is a non-benefit site to share the information. To keep up this site, we need your assistance. A little gift will help us alot.alert-info

Trakteer Coffe Admin/button

Setengah jalan kami menghabisi sicario El Pacho, sudah dekat dengan kontainer tujuan, sepertinya misi akan berakhir mudah, entah bagaimana caranya, mendadak atap gudang jebol. Lantas laksana seekor kelelawar, melompat masuk seseorang, hinggap di atas salah satu kontainer, lincah dia menembaki sisa sicario. Kakinya bergerak cepat seperti menari, menghentak ke sana-kemari, tukang pukul El Pacho bertumbangan seperti daun gugur.

Belum habis tubuh sicario terjerembab di lantai gudang, orang misterius itu menembaki seluruh lampu yang ada di gudang, membuat gulita sekitar, menyisakan cahaya bulan yang melewati lubang di atap.

Orang itu kemudian berdiri di balik sebuah kontainer, menghadang kami maju. Apa pun gerakan yang kami lakukan dia akan melepas tembakan akurat, membuat kami tetap berlindung di balik kontainer.

Dia jelas bukan tukang pukul kacangan, cara dia datang, cara dia menembak (dalam gelap malam), menunjukkan levelnya. Dan entah apa yang ada di kepala orang misterius ini, dia kemudian asyik memetik gitar klasik, menyanyikan lagu itu dengan suara serak. Membuat kami mendengarkannya.

"Bagaimana dia menemukan gitar di gudang ini?" White bergumam.

"Dia tidak menemukannya, dia membawa gitar itu, White." Salonga menjawab.

White menoleh ke arah Salonga.

"Aku melihatnya saat dia lompat turun dari atap, mata tua milikku masih tajam. Gitar itu ada di punggungnya. Dia juga mengenakan topeng penutup mata dan topi lebar."

"Astaga," White menepuk dahi, terperangah, "Apakah orang itu Zorro, Salonga? Eh, kita sedang ada di Meksiko, bukan?"

Yuki dan Kiko langsung tertawa terpingkal.

"Tuan Marinir, tidak ada Zorro dalam kehidupan nyata. Itu hanya legenda di Meksiko. Sepertinya terlalu Jama menjadi koki membuat insting marinir menu menjadi tumpul."

Jika aku tidak menahan tangan White, dia betulan akan menjitak kepala Yuki karena marah.

"Tapi orang itu hebat. Tentu saja." Salonga menengahi keributan, "Kita tidak akan mudah keluar dari balik kontainer ini tanpa rencana yang baik." Aku mengangguk, Salonga benar soal itu. Orang di depan sana bisa tahu bahkan saat aku mencoba mengulurkan telapak tangan dari balik kontainer, dia menembak jitu posisi tanganku -yang membuatku buru­ buru menariknya. Gerakan sekecil apa pun tak luput darinya.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Bujang?" White bertanya.

Download Here/button

This is a non-benefit site to share the information. To keep up this site, we need your assistance. A little gift will help us alot.alert-info

Trakteer Coffe Admin/button

Post a Comment

Previous Post Next Post
close