Perkembangan Sosial Budaya dan Aswaja

Daftar Isi [Tampil]
Perkembangan Sosial Budaya dan Aswaja 

Manusia merupakan mahluk yang diciptakan Allah Swt.dalam bentuk yang paling sempurna (Fii ahsani taqwim, al-Thin:4) dibandingkan dengan mahluk-mahluk yang lainnya. Manusia diberi akal budi dan hati nurani untuk mengemban fungsi ke-khalifahan yaitu mengatur kehidupan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi (al-Baqarah: 30-34, al-An’am:165).


Sejarah kehidupan yang dibangun manusia telah menghasilkan peradaban, kebudayaan dan tradisi sebagai wujud karya dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan dan tuntunan hidup yang dihadapi dalam lingkungan negara atau wilayah tertentu. Suatu bangsa atau suku membangun kebudayaan serta peradabannya sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai sosial serta pandangan hidup yang diperoleh dari ajaran agama atau faham yang dianut, budaya atau tradisi itu selalu mengalami perubahan baik berupa kemajuan maupun kemunduran yang semuanya ditentukan atas dasar relevansinya dengan kehidupan dan kemanusiaan. 

Pertemuan antara berbagai peradaban, kebudayaan dan tradisi merupakan kenyataan dan dialektika sejarah yang menyebabkan terjadinya saling mempengaruhi, percampuran, serta perbenturan yang sesuai dengan daya tahan dan daya serap masing-masing, sebagai contoh adalah peradaban Islam di Indonesia yang muncul sejak awal abad ke-7 masehi sampai perkembangannya merupakan salah satu kenyataan sejarah tersebut.

Salah satu faktor penentu berkembangnya peradaban Islam adalah faham golongan ahlu al-Sunnah wa al-jama’ah, ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai paham dengan metode yang komperehensif, memadukan antara wahyu dan akal yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang mengandung prinsip moderat (tawasuth), menjaga keseimbangan (tawazun) dan toleransi (tasamuh). Metode pemahaman dan pemikiran (manhaj al-fikr) ini lahir dari proses dialektika sejarah pemikiran dan gerakan yang intens dengan mengikuti tuntunan wahyu dan tuntunan akal secara proporsional yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan hukum kehidupan (sunnatullah). 

Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah menghindari pertentangan politik dan fanatisme kelompok yang masuk dalam pemahaman keagamaan, dengan prinsip dan watak dasarnya itulah ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dapat diterima dan berkembang di semua lapisan masyarakat serta ikut berperan memajukan kehidupan yang penuh kedamaian dalam wahana kebangsaan dan kenegaraan bersama peradaban, kebudayaan,dan tradisi lain.

Sebagai metode pemahaman dan pemikiran keagamaan yang fitri, ahlu al-sunnah wa al Jama’ah mengaktualisasikan diri dalam pengembangan peradaban, kebudayaan dan tradisi yang konstruktif (al-amru bi al-ma’ruf) serta mencegah perubahan yang destruktif (al nahy mabadi’ al khamsah: hifzh al-din, hifzh al-nafs, hifzh al-aql, hifzh al-nasl, hifzh al-mal) demi terwujudnya kemaslahatan di muka bumi.

Dengan prinsip menyebarkan rahmat kepada seluruh alam semesta (rahmat li al-‘alamin) ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah memandang realitas kehidupan secara inklusif (semua, menyeluruh) dan substansif (independen, hakiki). Secara mutlak ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah tidak mau terjebak dalam klaim kebenaran dalam dirinya juga tidak dalam kelompok-kelompok lain (tidak membedakan suku, ras dan budaya) karena mengaku atau mengklaim kebenaran hanya miliknya sendiri dan memandang pihak lain salah apalagi memaksakan pendapatnya kepada orang lain adalah merupakan sikap otoriter dan pada gilirannya akan mengakibatkan perpecahan, pertentangan dan konflik yang membuat kerusakan dan kesengsaraan.

Pluralitas (kemajemukan) dalam kehidupan ini adalah merupakan rahmat yang harus dihadapi dengan sifat ta’aruf, membuka diri dan melakukan dialog secara kreatif untuk menjalin kebersamaan dan kerjasama dengan saling menghormati dan saling membantu.

Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai metode pemahaman dan pemikiran yang dirumuskan dalam wacana keagamaan dalam penjabaran secara praktis masih banyak terjadi khilafiyah dan mengalami distorsi (pemutarbalikan fakta atau kenyataan) baik oleh para penganutnya maupun dikalangan orang luar. Pemahaman yang memadukan antara wahyu dan akal, teori kasab, serta tekanan ajaran zuhud (‘uzlah), qana’ah dan sebagainya telah disalahfahami yang kemudian diasumsikan menjadi penyebab kemunduran karena tumbuhnya sikap determinasi dan kepasrahan dalam kehidupan keduniaan, padahal ajaran akidah itu lebih bersifat penataan hubungan hamba dengan Tuhan. Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah mendorong manusia untuk menjadi pribadi muslim yang saleh, kreatif, dinamis dan inovatif agar mampu menjalankan fungsi kekhalifahan dengan tulus demi pengabdian dan kebudayaan yang maju, memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia dengan mendayagunakan potensi intelektualitas dan intuisinya secara maksimal dan bertanggung jawab sebagai amal saleh yang menentukan nilai dirinya dihadapan Allah Swt. 

Prinsip ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam mengembangkan kebudayaan dan peradaban didasari sikap yang seimbang, menjaga kesinambungan antara hal-hal baik yang sudah ada dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik (al-mukhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bil jadid al-ashlah) dan dengan dasar itulah ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah memandang peradaban dan kebudayaan modern yang baru muncul atau baru lahir sebagai hasil inovasi dan kreatifitas manusia atas dasar rasionalisme dalam menjawab tantangan yang dihadapi dalam bentuk nilai-nilai, ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kata lain ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah memandang peradaban dan kebudayaan modern dapat dimanfaatkan sepanjang tidak mengakibatkan bahaya dan tidak bertentangan dengan sendi-sendi dasar akidah dan syariat Islam, lagi pula semua yang ada dalam peradaban dan kebudayaan modern baik berupa etos kerja, kedisiplinan, orientasi ke depan, dorongan penggunaan teknologi canggih merupakan warisan kemanusiaan yang membawa manfaat untuk kesejahteraan hidup manusia.

Prinsip ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam mengembangkan kebudayaan dan peradaban didasari sikap yang seimbang, menjaga kesinambungan antara hal-hal baik yang sudah ada dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik (al-mukhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bil jadid al-ashlah) dan dengan dasar itulah ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah memandang peradaban dan kebudayaan modern yang baru muncul atau baru lahir sebagai hasil inovasi dan kreatifitas manusia atas dasar rasionalisme dalam menjawab tantangan yang dihadapi dalam bentuk nilai-nilai, ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kata lain ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah memandang peradaban dan kebudayaan modern dapat dimanfaatkan sepanjang tidak mengakibatkan bahaya dan tidak bertentangan dengan sendi-sendi dasar akidah dan syariat Islam, lagi pula semua yang ada dalam peradaban dan kebudayaan modern baik berupa etos kerja, kedisiplinan, orientasi ke depan, dorongan penggunaan teknologi canggih merupakan warisan kemanusiaan yang membawa manfaat untuk kesejahteraan hidup manusia.
Previous Post Next Post
close